Buku catatan milik Arkais Nareshwara
“Loh, ada Mas Abi?” Ucap Kakak Ghifari saat membuka kamar Abang Arkais dan melihat Mas Abi sedang duduk di bangku belajar milik abangnya.
“Kakak ngapain kesini?” Mas Abi bertanya balik.
“Mau cari gunting,”
Langkahnya mendekat kearah meja belajar yang tampak berantakan, beberapa buku berserakan sembarangan.
Mas Abi membantu mencarikan kala melihat Kakak kesulitan mencari keberadaan gunting. Dibukanya lemari kecil dibawah meja belajarnya dan ditemukan beberapa botol permen ChaCha.
“Mas Abi baru tau kalo Abang suka makan permen,”
“Akhir-akhir ini emang Abang lagi suka makan permen sih” Jawab Kakak sambil masih mencari gunting di sudut-sudut ruangan, barangkali terselip atau terjatuh.
Pandangan Mas Abi berganti pada buku sampul hitam yang suka ia lihat, dengan rasa penasaran ia ambil bukunya yang tergeletak di atas meja.
“NAH INI DIA!” Seru Kakak saat gunting yang ia cari akhirnya ketemu.
“Itu bukunya Abang gaada isinya, Mas.”
Mas Abi mengerutkan keningnya, “Masa, sih?” pasalnya ia pernah sekali melihat Arkais menulis di buku yang sedang ia pegang.
Kakak mengangguk, “Iya, buka aja kalo ga percaya.”
Saat hendak dibuka, tiba-tiba lampu padam total, membuat Kakak berteriak karena takut akan gelap dan buku yang Mas Abi pegang jatuh tergeletak di lantai dengan posisi terbuka.
“MAS KOK MATI LAMPU?! TANGAN MAS DIMANA SIH? KAKAK TAKUTT” Tangannya mencari-cari keberadaan tangan Mas Abi.
“Ini tangan Mas Abi” Digenggamnya dengan erat tangan Kakak, “Kakak calm down, nafas pelan-pelan. Gapapa, ada Mas Abi disini.” Ucap Mas Abi menenangkan.
“Kayaknya mati total deh, Kak, aduh handphone Mas ada di kamar lagi.”
“Kayaknya tadi Kakak liat ada senter kecil deh, Mas, dimeja belajar.”
Mas Abi berusaha dengan susah payah mencari senter dengan minimnya penerangan, diraba-raba meja belajar dengan tangan kirinya, sebab tangan kanannya di genggam dengan sangat erat oleh Kakak Ghifari.
“Eh ini kayaknya ketemu” Dan benar saja saat ditekan, cahaya remang-remang keluar dari senter milik Abangnya.
“Buka aja matanya, Kak. Ini udah ada cahaya sedikit, jadi enggak terlalu gelap.” Kakak akhirnya membuka matanya perlahan dengan masih mengeratkan tangannya pada genggaman Mas Abi.
“Keluar, yuk.”
Saat hendak keluar dan menyorot lantai, Kakak dibuat bungkam seketika karena buku hitam milik Abangnya itu terdapat tulisan yang sebelumnya hanya kertas kosong.
“Eh sebentar, Mas… coba sorot bukunya Abang lagi”
Benar, rupanya buku milik Abangnya dapat terlihat tulisan dengan jelas jika berada diruang gelap dan disorot oleh cahaya.
Diambilnya buku itu dan dibaca dengan seksama dari halaman ke halaman berikutnya. Hingga halaman terakhir terbuka dan membuat mata Mas Abi juga Kakak Ghifari yang tadinya berkaca-kaca, sekarang menitikkan air matanya, jatuh membasahi buku milik Abangnya, ikut merasakan… rasa sakitnya.
Ternyata, sosok yang selama ini ia kira baik-baik saja, sangat jauh dari apa yang di duga.
Abang Arkais Nareshwara, tuan dengan senyum yang lekat pada wajahnya, bahkan mungkin beberapa orang menganggap dunianya selalu menyenangkan dan sempurna. Padahal kalau ditelusuri lebih dalam, setiap sisinya terdapat luka, setiap incinya sangat mudah dipatahkan karena terlalu rapuhnya.