cermin dengan lilin yang akan habis sumbunya
12, 11, 10, 9… ia terus menghitung mundur dengan harap yang menggaung
3, 2, 1… “serta mulia! panjang umur dan tabahnyaaa” ucap seseorang di depan cermin sana.
aku terdiam dalam sepi yang mencekam. haruskah aku berdoa untuk meminta sembuh atau meminta pulang agar seluruh luka meluruh? namun belum sempat ku tiup lilinnya, ia menyela dengan suara yang terdengar marah.
“kenapa tarikan nafasnya panjang sekali? kenapa bimbang, antara sembuh atau pulang?”
lagi-lagi aku menarik nafas panjang, menatap lamat lamat manik matanya. ia menggeleng pelan seraya mengelus palaku dengan sayang.
sebuah proyektor dengan layar mengudara memutar balik kilas dengan warna hitam dan putih. layar pertama menampilkan bagaimana ia lahir kedunia, lalu tumbuh merangkak tertatih tatih.
bun, kalau saat hancur ku disayang, apalagi saat ku jadi juara, saat tak tahu arah kau disana, menjadi gagah saat ku tak bisa,
setelahnya hening beberapa waktu, hingga tampilan terputar kembali dengan wajah diiringi senyum gingsul yang sempurna. ia tumbuh dengan luka, beranjak ditemani duka.
kita beranjak dewasa, jauh terburu seharusnya, bagai bintang yang jatuh, jauh terburu waktu, mati lebih cepat… mati lebih cepat…
“hingga terganti bagaimana ia selalu memainkan peran di panggung yang bukan seharusnya ia menjadi pemeran. dengan senyum merekah, aku tahu itu palsu, aku tahu itu palsu” ia menekan kalimat terakhirnya.
dengan beratku, ku tarik lemahku, sudah tugasku, menjadi sembuh, ku sulam senyum, meleburkan yang pilu, demi menjadi, aman tuk yang butuh,
bergantian aku, dengan dia yang di cermin.
proyektor mati, lagu berhenti, sunyi menyeruak kembali. aku tersadar, hanya ada aku dengan dia di cermin. hanya ada kita berdua, atau… hanya ada aku seharusnya?
“jangan dulu menyerah, aku dan kamu tau jalan ini masih panjang. kita bisa menggenggam untuk melawan, dengan segala luka dan bodohmu, hangat dan gigihmu”
lalu aku menarik nafas panjang, kali ini untuk meniup lilin yang sudah ingin habis sumbu nya
bahwa aku meminta sembuh dan mencintai ia di cermin sana.
bunga merah yang lelah dibuatnya merekah, seperti peluk yang mengizinkanku lebih luas dan tak gundah, seperti doa yang menjagaku dari rusak dan tak cukup, seperti doa yang menjagaku dari rusak dan tak cukup.