gabisa utuh, sisa separuh.

Dari banyaknya hal di dunia, menjadi keluarga Rahadian adalah hal yang tidak ingin abang tukar dengan apapun. Segala hal mungkin kurang sempurna, banyak sakitnya, banyak cacatnya, banyak rumpangnya. Namun ketika telapak tangan si sulung mulai mencari dan menautkan kepada tiga raga lainnya, semua hal yang kurang akan terasa sempurna. Sempurna dengan cacatnya.

Seperti biasa, sudah menjadi rutunitas abang dan mas untuk menyempatkan waktu luang di akhir minggu. Hanya bercengkrama, bertukar obrolan tentang rutinitas yang mereka jalani beberapa hari terakhir. Mungkin hal ini biasa untuk sebagian orang, tapi untuk mereka ini menjadi hal penting yang perlu di obrolkan.

“Kuliah aman?” Tanya mas Abi di bawah langit Sudirman, menemani si adik untuk melepas penat, katanya.

Asap rokok lepas keudara bersamaan dengan angin malam yang terasa tenang, hampir setengah bungkus malboro merah sudah di habiskan malam ini, tangan abang bergerak meletakkan rokok yang sisa satu jari kelingking untuk di matikan. “Stress anjing, tapi aman. Minggu depan sidang, sisanya tinggal wisuda”

Mas Abi mengangguk anggukan kepalanya sembari melihat dengan seksama wajah Abang Arkais, menatapnya dengan perasaan bangga.

“Keren.” Ucapnya haru, abangnya sudah berjalan sejauh ini ternyata.

Abang terkekeh, “Mas sendiri gimana, kantor aman?”

Mas Abi mengangkat jempolnya. “Aman!”

Kemudian mereka habiskan untuk makan seafood di pinggir jalan dengan backsound klakson kendaraan karena padatnya kota Jakarta yang bukan main adanya. Kadang, kalau sedang berjalan keluar membuat sesekali tersadar dan bersyukur. Ada anak kecil yang harus berjualan bahkan sampai larut seperti ini, ada yang sedang makan bersama keluarganya, ada pula wajah wajah kusut entah karena apa.

“Mas” panggil abang.

“Iya?”

Abang tampak berpikir sejenak, menimang apakah hal yang akan ia tanyakan perlu ditanyakan atau sebaiknya ia simpan sendirian? Namun belum selesai ia dapat jawaban, Mas Abi kembali bersuara.

“Bilang aja, bang. Kita udah sepakat kan untuk membahas apapun itu bersama?”

Abang memamerkan senyumnya. “Sebenernya ga penting banget sih mas… maksudnya apa ya.. penting sih, abang Cuma penasaran aja. Ah lieur, intinya gitu deh”

“Hahaha, iya sok” jawab mas

“Ini mah seandainya aja ya mas, SEANDAINYA LOH YAA” tekan abang di kalimat terakhirnya. “Kan kayak yang mas tau juga, kalau manusia itu enggak menetap. Bahkan dalam satu detik ke depan kita gaakan tau apa yang terjadi. Kalau seandainya… salah satu dari kita pulang… gimana?” Tanya nya ragu, salah satu dari kita adalah keluarganya, mencakup semua, bukan hanya mereka berdua.

Mendengar hal itu, Mas Abi yang ingin meneguk kopinya seketika gerakan tangannya terhenti, bahkan belum sampai ia teguk setetes pun. “Kalau menurut abang gimana? kalau mas enggak ada?” Tanya mas kembali.

“Dih curang mas mah, kan bang duluan yang nanya!” protes abang.

“Lagi nanyanya aneh-aneh aja.”

“Mas sendiri tadi yang bilang kalo tanyain aja hayo? Salah siapa? Salah abang?”

“Iya iya, stop it. Cerewet deh kamu, bang.” ucap mas.

“Ini abang nanya hal yang pasti loh”

“Iya mas tau, tapi menurut abang gimana?” masih belum menjawab, mas abi kembali menanyakan hal yang sama.

Abang memutar bola matanya sambil menggerutu dalam hati. Mas Abi yang melihat perubahan dari raut muka abang tertawa lepas, jarang jarang ia bisa membuat abangnya kesal.

“Em… gimana yaa…” ucapan abang menggantung di udara. “Ancur sih mas. Ngebayanginnya aja aku engga bisa apalagi ngejalaninnya. Kayaknya kalau mas engga ada jiwa aku ikut engga ada.”

“Jangan”

“Kenapa?”

“Hidup harus tetap berlanjut” seketika hawanya berubah menjadi dingin yang menusuk raga, bisingnya sudirman saat ini seolah di bungkam dan sunyi tiba-tiba. “Dunia enggak akan berputar buat kamu, abang. Jadi mau kamu hancur sekalipun, sudirman akan tetap ramai, gedung-gedungnya masih tinggi, dan semuanya akan terus berjalan. Engga ada yang peduli kamu hancur, dunia engga akan ikut berhenti.” Tuntas mas.

Abang bergeming mendengarnya, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Duduk dulu, tarik nafasnya yang panjang. Kecewa kalau abang mau kecewa, nangis kalau abang mau nangis, teriak kalau abang mau teriak. Tapi hidup abang enggak boleh berhenti, ya? Berhenti hanya diperbolehkan pada ia yang sudah mati.”

Abang menjawab ucapan mas dengan mengangguk, tanda ia paham. Dan mungkin akan melakukan jika seandainya, perlu garis bawahi, seandainya hal itu terjadi.

“Kalau mas, gimana?” Tanya abang.

“Lebur.”

Abang mengerutkan kening. “Hah?”

“Kalau kamu hancur, mas lebur. Gaakan bisa berbentuk lagi, engga akan bisa jadi satu lagi. Kalau seperti yang abang bilang, seandainya salah satu dari kita pulang…” nafas mas tiba tiba tercekat, seolah pasukan oksigen menghilang dan merenggut darinya. “Kalau salah satu dari kita pulang.. mas lebur, bang. Engga bisa utuh, sisa separuh” Sambungnya pelan.

Mata abang berkaca, siap meluncur kapan saja tapi ia tahan sedemikian rupa agar tidak tumpah. Padahal ia kira percakapannya akan selewat saja, tidak se serius yang ia duga. Tapi, memang membahas kepergian akan selalu menyakitkan, bukan?