“IH ITU PIZZANYA ADEKK JANGAN DI MAKAN”
“BODO WLE, SIAPA CEPAT DIA DAPAT” Ujar Abang lalu memakan pizza di tangannya.
Rumah yang dihuni tiga orang namun hebohnya berasa sekelurahan.
Hari ini Mba Denza mampir ke rumah untuk memastikan kondisi abang, kakak, juga adek, sekaligus ingin bermain karena akhir akhir ini Mas Abi sibuk dengan kerjaannya yang sedang dalam masalah.
“Wih ini mesin kopi yang di beliin Mas Abi ya, kak?”
Kakak mengangguk. “Iya Mba, mau dibuatin kopi enggak?”
“Mau dong satu ya mas, iced coffe latte normal sugar extra ice” Ucap Mba Denza sambil terkekeh.
Kakak tersenyum lalu mengangguk kembali, berdiri seperti sedang menjadi barista. “Baik, mohon ditunggu sebentar ya mbak”
Yang lain tertawa, abang dan adek masih sibuk memakan pizza, lalu Mba Denza melangkahkan kakinya menuju kamar Mas Abi sembari menunggu kopi yang dibuatkan Kakak.
Monokrom, suasa kamar Mas Abi hanya di dominasi oleh putih dan abu-abu, sangat rapih. Terdapat satu figuran besar yang berisi keempat orang lalu di kanan kirinya di isi oleh foto kecil dari abang, kakak, dan adek. Mba Denza tersenyum sambil memandangi kamar yang entah kenapa damai aja rasanya.
Lalu ketukan pintu terdengar
“Mba? ini kopinya udah jadi”
Mba denza membuka kenop pintu dan mendapati Kakak dengan dua gelas kopi di tangannya.
“Masuk, kak” ucap Mba Denza mempersilahkan masuk, dan kembali menutup pintu kamar.
Kakak duduk di kasur Mas abi sedang Mba Denza di kursi kerja, saling berhadap hadapan.
Mba denza menghirup aroma kopi lalu menyeruputnya. “Enak banget kak, makasih ya”
Kakak membalasnya dengan senyuman, lalu meneguk kopi yang ia buat sendiri.
Hening, bahkan suara detingan jam terdengar sangat jelas. Mba Denza sengaja pindah ke kamer Mas Abi untuk mengobrol berdua dengan kakak, meluruskan masalah yang ada.
“Kak,”
“Mba,”
ucapnya saling berbarengan, lalu terkekeh. “Duluan kak,”
Kakak justru terdiam sambil memandangi figuran, tidak membuka suaranya. Kakak bingung mau memulainya dari mana.
“Kenapa, kak? mau nanyain kabar Mas Abi?”
Kakak masih terdiam, Mba Denza mengerti gengsinya masih tinggi.
“Kak, mau cerita? gimana harinya belakangan ini?” Tanya Mba Denza
“Gatau Mba, kosong”
“Mba, kakak salah ngga kalo kakak ngerasa dibedakan?” Ucap kakak kembali.
“dibedakan bagaimana, kak? kemarin ya yang masalah rokok?”
Kakak menghela nafasnya, meneguk kembali kopinya. “Awal kakak ngerokok itu dua tahun yang lalu, jujur awalnya emang cuma penasaran aja mba, gimana sih rasanya? emang bener ya bisa ngilangin stress?”
Akhirnya si anak tengah bersuara, menyuarakan keluh kesanya yang ia tahan selama ini.
“Kakak udah mau bilang ke Mas Abi, tapi pas itu semua perhatian lagi ke adek yang abis menang olimpiade. Padahal saat itu kakak lagi sedih gara gara engga keterima buat perwakilan olim fisika. Kakak cemburu Mba, kenapa selalu adek, adek, dan adek. Kenapa adek yang emang udah dilahirin pinter sedangkan kakak harus berupaya dengan keras untuk mendapatkan yang sempurna, kenapa rasanya... semesta selalu aja enggak berpihak pada kakak”
Tangis kakak tumpah, Mba Denza mendekat dan mendekapnya hangat.
“Akhirnya kakak nekat ngerokok, pelarian juga karena kakak lagi banyak pikiran. Dan kemarin, kakak enggak suka di marahin perihal yang menurut kakak enggak perlu di besar-besarkan. Maksudnya iya kakak salah, tapi gausa di hakimin, gausa dipojokin. Nada bicara Mas Abi juga seakan-akan sekecewa itu sama kakak”
Tangisnya masih belum mereda, namun setidaknya sesak di dadanya sedikit lega karena telah di suarakan.
“Mba paham kak rasanya jadi kakak, mba pernah ngerasa di bandingkan, di bedakan, yang padahal orang tua Mba Denza juga enggak berniat melakukan hal itu. Manusia kan gaada yang sempurna, kak. Apalagi Mas Abi, ga punya pengalaman apa apa tapi harus menggantikan posisi kedua orang tuanya,”
“Mungkin kamu ngerasanya di bandingkan, perhatiannya di bedakan, tapi percaya sama Mba Denza, Mas Abi selalu bagi rata perhatiannya, selalu bagi rata kasih sayangnya, ga pernah ada yang lebih ga pernah ada yang kurang.”
Tanpa mereka sadari, dua insan lainnya ikut mendengarkan pembicaraan dari luar.
“Mas Abi enggak berniat untuk marahin kakak, enggak. Cuma kemarin memang di kerjaan lagi ada masalah dan emosinya kebawa dilampiasain ke kakak. Nanti ngobrol ya? saling menyuarakan apa yang di pengen biar sama-sama mengerti, kakak pengennya kayak gini loh mas, kakak ngerasa kalau perhatiannya mas beda, suarakan aja kak, suarakan biar lega dan saling mengerti.”
Kakak mengangguk. “Makasih ya mba? nanti kakak bicara sama mas”
Mba Denza kembali mendekap Kakak dan menghapus air matanya. “Kak, kadang emang cara kerja semesta suka kelewatan, tapi pasti ada adilnya. Semesta bukan enggak berpihak, tapi belum, belum saatnya. Jadi sabarnya harus di perpanjang, bahunya di perkuat. Karena anak hebat akan mendapat bahagianya yang luar biasa.”
Kadang, masalah yang ada dan bertumpuk itu karena tidak di suarakan, menyebabkan kesalahpahaman yang sebenarnya bisa diselesaikan jika sama-sama mengerti dan bersua.
tok tok
pintu kamar terbuka, menampilkan abang dan adek yang berjalan mendekat dan ikut mendekap sang kakak.
“Kak” Panggil Abang.
“Kakak gapapa, udah lega udah, nanti kakak minta maaf sekaligus ngomong sama Mas Abi.”
Abang dan adek mengulas senyumnya dan berterimakasih kepada Mba Denza lewat lirikan mata, Mba Denza mengangguk dan tersenyum.
lalu deringan telfon terdengar, asal suara dari tasnya Mba Denza.
“Halo?” Mba Denza mengangkat telfon lalu raut mukanya seketika berubah.
“Kenapa mba?” Tanya Abang dengan cemas.
Mba Denza menutup telfonnya dengan pandangan kosong, terdiam memahami yang terjadi.
“Ada kecelakaan di proyek tempat Mas Abi kerja, dan Mba Denza belum tau kondisinya Mas Abi gimana”