mari kita usai dengan sebenarnya, Kale.
Binar terpaku sejenak saat ia membuka pintu rumahnya dan melihat laki-laki yang hampir dua tahun tidak ia ketahui bagaimana keadaanya.
Perawakannya masih sama, hanya lebih tinggi beberapa centi dari sebelumnya, bola mata coklat hazel favoritenya, lengsu pipit, juga yang menjadi cirri khas nya adalah topi baseball yang warnanya sudah pudar itu masih ia kenakan juga hari ini.
“Hai?” sapa Kale yang terdengar sedikit canggung.
Binar menarik nafas nya sejenak, lalu membalas sapaan laki-laki itu. Hari ini, hari ini mungkin waktunya untuk menyelesaikan apa yang belum usai.
“Maaf” setelah bermenit-menit mereka habiskan dalam hening, akhirnya Kale berucap dengan pandangan menunduk menatap sepatu convers miliknya.
“Jadi tujuan kamu kesini buat apa?” tanya Binar langsung pada intinya.
“Mungkin kedengerannya terlalu brengsek, tapi, Nar. can we go back?”
Binar terkekeh mendengarnya.
“Lucu ya, Le, tiga tahun. Tiga tahun loh kita, dari yang backstreet sampai ketahuan satu sekolah. Sempet kena rajia pacaran sama Pak Gandi terus akhirnya kita bikin drama putus hahaha lucu juga kalo di inget inget. Kita ngambis bareng, kejar kejaran peringkat sampai di nobatkan couple ngambis hahaha”
Dulu sekali, waktu masa sekolah mereka menjadi pasangan fenomenal yang dikenal seantreo sekolah. Dan lucunya pasangan yang dulu selalu melekat kemana mana kini terasa canggung dan sangat jauh berbeda.
“Orang tua aku cerai, Nar. Aku.. harus ikut papa ke Jerman” tutur Kale.
“Sorry... aku gatau soal itu.”
“Aku pikir, LDR sesuatu hal yang engga bisa menjadi pilihan.”
“Hahaha, itu lebih lucu, Le.” Binar menatap langit yang mulai berubah warnanya sambil tertawa sarkas.
“I know kaleandra. Kamu engga inget dulu kita di tentang abis-abisan sama keluarga mu, Le. Gara gara katanya keluarga aku enggak setara. Tapi yang kamu dan aku lakuin apa? Dua tahun kita perjuangin sampai akhirnya di restuin. Terus dengan kamu LDR kamu nyerah gitu aja?”
Kale menatapnya dengan lubang penuh penyesalan sedang Binar sudah terlalu muak dengan keadaan.
Laki-laki itu menarik nafasnya seolah olah pasokan oksigen mulai habis menggerogotinya.
“Aku dijodohin.”
Sebuah fakta baru yang ternyata lebih memuakkan.
“Pas aku sampai di Jerman Papa kecelakaan, Nar. Keadaan Papa kritis, dan saat itu aku diminta menikah dengan pilihannya.”
“Lalu?”
“Aku gatau harus ngelakuin apa sampai akhirnya aku mengiyakan dan memutus kontak sepihak denganmu.” Kini pandangannya menatap Binar tepat dibola matanya. “Aku engga pernah sama sekali mencintai perempuan itu Nar.”
“Berarti kamu... sudah menikah?” Tanya Binar ragu pasalnya ia tidak melihat cincin tersemat di jemari laki laki itu.
Kale menggeleng. “Batal. Pas aku mau lamaran sama dia, aku baru tau kalau ini cuma bisnis semata. Papa bohong, Nar. Kecelakaan itu murni rekayasa, aku sama perempuan itu ngerasa sama-sama di bohongi dan kami memutuskan buat putus hubungan”
Binar masih mendengarkannya dengan seksama, ternyata sama- sama terdapat luka.
“Aku sekarang mutusin buat pergi dari rumah Papa, menjalani hidup sendiri.” Jelasnya mengisi pertanyaan-pertanyaan yang selama ini selalu terputar dalam kepala Binar.
“Kita usai gitu aja bahkan kata putus juga belum pernah di ucap” dan untuk pertama kalinya setelah bertahun tahun dipenuhi teka-teki dan luka yang membasahi, kini Binar harus bisa berdamai diri untuk sepenuhnya menutup buku yang sudah lama ia akhiri. “Jadi Kale, mari kali ini kita usai dengan sebenarnya.”