Rumpang

Denza dan Abi sudah berada di cafe tempat biasa mereka bercengkrama, entah kadang membahas hal penting atau sekedar bercerita bagaimana harinya.

Tiga tahun keduanya menjalani hubungan, pahit, manis, asam, sudah dilalui bahkan sempat beberapakali kata nyerah menghampiri, namun mereka kembali mengeratkan tangannya untuk sama-sama berjuang.

“Mas,” Panggil Denza menatap Abi serius.

“Hm? kenapa cantik?”

Denza mengigiti bibir bawahnya, gugupnya menghampiri lebih dari sebelumnya, “Nikah, yuk” akhirnya yang ia tahan sedari tadi keluar dari mulutnya.

Abi memandang Denza serius lalu tawanya pecah seketika. “Tiba-tiba banget?”

Denza menggerutu, karena respon Abi hanya menganggap ucapannya sekedar candaan,

Memang sedari awal mereka memulai hubungan, setiap ditanya prihal nikah, Abi selalu menjelaskan alasannya, dan Denza pun memaklumi itu, toh ia juga tidak ingin terlalu cepat menikah,

Namun kali ini berbeda, dua hari yang lalu Denza sempat bercengkrama dengan sang papa, membicarakan prihal hubungan keduanya.

“Mas, aku serius.”

Abi menggenggam tangan Denza, “You know my answer, Za” ucapnya perlahan.

“Iya i know, tapi mas” Denza membuang nafasnya gusar, lalu dengan ragu ia meneruskan ucapannya. “Aku mau dijodohin”

Abi terdiam seribu bahasa, senyum yang melekat hilang seketika mendengar penuturan perempuan didepannya.

“Di... jodohin, za?” Tanya Abi kembali memastikan, takut-takut pendengarannya salah tangkap.

Namun respon Denza mengangguk, membenarkan pertanyaanya.

“Iya, rabu papa ke apartemen aku, dan dia nanyain hubungan kita, papa bilang kalo kamu gak segera nikahin aku, aku mau dijodohkan sama pilihannya. Papa udah tua mas, dia cuma pengen ngeliat dan jadi saksi anaknya menikah.”

Abi memejamkan matanya, tak mampu berbicara. Dari awal pacaran, pembahasan nikah sempat di obrolkan dan jawaban Abi selalu sama, ia belum bisa untuk saat ini karena masih ingin memfokuskan dirinya pada adik-adiknya, bersama melihat tumbuh dewasa yang tidak bisa adik-adiknya rasakan bersama orang tua.

Abi tidak ingin perhatian yang adik-adiknya selama ini kurang di dapat harus semakin berkurang karena nantinya tanggungjawabnya bertambah, dan perhatiannya akan terpecah, terutama adek, ia pun tidak yakin adek bisa menerima.

“Aku... aku belum bisa, za” Cicit Abi tak berani menatap perempuannya.

Denza menahan tangisnya, matanya memerah, “Ayo mas, kali ini, ayo berjuang” pintanya.

“Cantiknya aku... dari pada berjuang untuk hal yang tidak pasti, jangan, ya? aku gamau kalau nantinya melukaimu lebih dalam dengan harapan.”

Tangisnya pecah, Abi masih menggenggam tangan perempuannya dengan lembut dan mengelap air matanya.

“Aku mau dijodohin loh mas?” Ujar Denza dengan frustasi.

“Kamu rela aku sama yang lain? kamu rela perempuanmu bahagia bersama laki laki lain?” Tanya Denza kembali.

Yang satu berperan sebagai anak sulung dan satunya anak tunggal.

Abi memandang perempuannya dengan tatapan kosong, pikirannya sudah kalut kemana-mana, “Sumpah demi apapun aku cinta kamu, Za. Tapi untuk jenjang serius... aku rasa aku belum bisa.”

Denza melepas tangannya dari genggaman Abi, membuang muka mendengar jawaban yang tidak ia harapkan, “Terus kamu maunya apa? maunya kita gimana?” Tanya Denza final.

Abi mengepalkan tangannya, perasaannya pun sudah tidak karuan, memikirkan keputusan terbaik yang tidak akan menjadi baik, sejujurnya.

Dengan satu tarikan nafas, Abi memberikan keputusan finalnya. “Aku... melepasmu, ya?”

Abi hanya tidak ingin jika ia tetap mempertahankan justru memperburuk hubungan perempuannya dengan sang papa, ia mengerti sekali keinginan papanya, namun tanggungjawab sebagai sulung dan tulang punggung keluarga, juga pondasi adik-adiknys yang saat ini dipunya hanya Abi.

Tanpa memberikan jawaban kembali Denza meninggalkan Abi dan pergi.