Sekala dengan banyak ketakutannya.
Mba Denza memasuki ruangan bimbingan konseling dan melihat sudah ada beberapa orang didalam, adek nampak terkejut pasalnya ia mengira yang datang Mas abi, atau paling tidak Abang Arkais, diluar dugaan justru Mba Denza datang dengan senyum dibibirnya mendekati dan duduk disebelahnya.
“Nah ini kakaknya dateng, eh mba! bilang ya sama adeknya sopan santunnya dijaga, main mukulin anak saya aja!” ibu berbaju merah nampak marah
Mba Denza mengerutkan keningnya, tidak paham akan yang terjadi, “Sebentar ibu, saya belum tau akar masalahnya gimana, bisa tolong jelaskan?”
“Sekala mukul saya sampe kening saya berdarah! pantes sih ga punya sopan santun, orang tua aja ga punya” Ucap si anak dari ibu berbaju merah, Lantas sekala yang mendengarnya berdiri tidak terima.
“Reza anjing! lo duluan yang gangguin gue dikantin, sampe ngata ngatain orang tua, lo juga yang mukul gue pertama kali bangsat”
persetan dengan omongan kasarnya dihadapan guru-guru, ia sudah kalang kabut akibat amarahnya.
“Sudah-sudah! jadi yang benar yang mana?”
“Saya!” anak bernama Reza itu menyaut.
“Kalau bapak nggak percaya, panggil ibu kantin aja, dia saksinya” Balas Sekala.
Muka Reza memancarkan kepanikan, namun bapak guru akhirnya memanggilkan ibu kantin dan memberikan kesaksian.
“Bu, lain kali anaknya di ajarin sopan santun ya, masih untung adek saya cuma bikin keningnya berdarah, orang yang enggak punya sopan santun harusnya berakhir di rumah sakit aja.” Ucap Mba Denza lalu menepuk pundak Sekala, “Yuk, udah kan masalahnya beres?”
Ibu yang dipanggil kini menunduk malu, serta Reza yang nyolot luar biasa dikenakan sangsi berupa scors selama tiga hari.
Setelah urusan di sekolah Sekala selesai, Mba Denza membawa Sekala ke kedai eskrim langganan untuk menyejukkan hati sejenak, serta menyobati luka di sudut bibir akibat perkelahian tadi.
“Gapapa, Adek udah ngelakuin yang bener kok, orang kaya gitu emang pantes ditonjok” Ucap Mba Denza sambil menutup luka di sudut bibirnya dengan kasa
“Mba, makasih.”
Mba Denza terkekeh melihat Sekala yang tampak canggung dengannya
“Dimakan itu eskrimnya dek, nanti meleleh.”
Sekala memainkan jemari kakinya, masih canggung dibuatnya.
“Mba” panggilnya lagi
“Iya?”
Helaan nafas Sekala terdengar, “Adek takut” Mba Denza mengangguk paham, ditaronya eskrim di meja lalu memegang pundak Sekala dan menatap nya.
“Apa yang adek takutkan, coba bilang”
Setelah kepergian kedua orang tuanya, Sekala masih terdapat trauma, bagaimana jika ia ditinggalkan tiba-tiba, bagaimana jika satu-satu nya hal yang ia punya pergi meninggalkannya.
Maka ketika hal yang ia punya itu keluarga, Mas Abi, Abang Arkais, Kakak Ghifari, maka ia jaga sebaik mungkin, ia gengam dengan erat.
Ketika satu tahun yang lalu Abang Arkais balapan dan kecelakaan, lalu koma berbulan-bulan, sungguh rasanya dunia Adek hancur seketika, rasa takut akan kehilangan kembali menyeruak dalam dada.
Dan kali ini, ketika Mas abi meminta izin untuk menikah, ia takut jika nantinya semuanya berubah, jika nantinya, Mas Abi pergi meninggalkannya dan sibuk dengan keluarga kecilnya, takut kalau prasangka buruknya menjadi kenyataan.
“Adek takutkan semuanya”
Mba Denza tersenyum dengan hangat, “Adek, dengerin Mba Denza, ya? Adek ga perlu takut, gaada yang berubah dari Mas Abi menikah, oke ada yaitu Mba Denza menjadi bagian dari keluarga nya Adek, tapi adek tenang aja, nantinya perhatiannya Mas Abi gaakan hilang, percaya sama Mba Denza, nantinya juga kita tetap tinggal bareng, bedanya sekarang berlima.”
“Nanti adek masih bisa main bareng Mas Abi, nanti malah kita bisa masak bareng! Mba Denza enggak akan ambil Mas Abi dari Adek, enggak. Kita juga gaakan jauh-jauh dari adek, kakak, maupun abang. Kita tetep ada, bedanya nanti akan berlima.”