Semesta menjadi saksi.
“Loh? kok kita ke pantai? rumah temen kamu di deket sini, Mas?” Denza mengerutkan keningnya merasa kebingungan, namun Abi tidak menjawab dan terus berjalan sambil bergandeng tangan
Di sisi lain, Adek, Kakak, dan Abang tengah bersembunyi sembari merekam untuk dokumentasi
“Halo gais, Hari ini Mas Abi mau ngelamar Mba Denza, tuh tuh liat lagi jalan di tepi pantai Mas Abi nya” Abang mengarahkan kamera dan memfokuskan kearah Mas Abi
“Aduh aus, ambilin minum tolong kak” Ujar Abang sambil masih memegang kamera di tangan kanannya “Tolong pegangin dulu kameranya”
“Ih Abang jangan gerak-gerak nanti jelek hasilnya!” protes Adek
“Ya gue aus cil masa minumnya pake tangan kiri?”
“EH UDAH-UDAH ITU KAYAKNYA MAS ABI UDAH MAU NGELAMAR TUH CINCINNYA MAU DIKELUARIN, ADEK AWAS BUNGANYA JANGAN DI DUDUKIN!” Ucap Kakak dengan hebohnya.
Abi memberhentikan langkahnya dan berdiri menghadap Denza, masih setia pada genggamannya.
“Mas kamu kenapa sih aneh banget?”
Abi menarik nafasnya dan menetralisir gugupnya, “Za” panggilnya
“Iyaa?”
“Hala Blythe Cadenza” Panggilnya lagi.
“Iya sayangkuuu ada apaa? kamu kenapa sih kok keliatan gugup gitu?”
Abi melepas genggamannya dan mengambil kotak cincin di saku celananya, membukanya tepat di hadapan perempuannya.
“Za, izinkan aku, Abiezar Kazeem untuk menyatakan segala rasa tentang kamu, cinta, dan kita.”
Denza menatap Abi dengan pandangan kaget tidak percaya, menutup mulutnya dan muncul gerut merah di pipinya.
“Ketika awal mula kita bertemu dengan tidak sengaja di perpustakaan kota, dan membawa pada pertemuan-pertemuan selanjutnya hingga akhirnya membuat kata aku dan kamu menjadi kita.”
Abi menjeda kalimatnya, senyumnya kian merekah, kicauan burung-burung ikut serta menyaksikan dua insan yang sedang memberikan kabar bahagia.
“Katanya, hubungan yang dijalin bertahun-tahun akan monoton, rasa bosan datang dan mengikis rasa sayang. Tapi sialnya, justru dari hari ke hari perasaan ini semakin membuat ingin terjebak bersama perempuan cantik bernama Denza”
Denza masih diam tidak berkutik, rasa haru, malu, tersipu, menyeruak dalam dadanya.
“Dan sore ini, aku sudah memantap kan hati”
Mas Abi berlutut di hadapan perempuannya sambil menggantungkan tangan kanannya di udara dengan kotak cincin manis yang terbuka
“Di temani cantiknya langit senja juga semesta sebagai saksinya, mau kah kamu, Denza, menikah dengan aku? membangun rumah yang tidak langsung mewah dan sempurna, melainkan sederhana dengan pondasi kasih dan cinta.
Mau kah untuk tetap menggenggam tangan ini hingga akhir cinta kita, sampai tua, sampai jadi debu?”
Air mata Denza sudah lolos berjatuhan, mentap Abi dengan perasaan yang sulit dijelaskan, lalu mengangguk memberikan jawaban.
“Iya mas... aku mau”
Abi mengaitkan cincinnya dijemari cantik perempuannya, lalu mendekapnya dan saling menebar rasa bahagia.
“Huhuhu Mas Abiiii” Adek yang pertama keluar dan segera mendekat ke arah Mas nya dengan air mata yang ikut berjatuhan
Lalu disusul Kakak yang memegang buket bunga dan Abang yang masih merekam
“Loh Adek?” lagi, Denza dibuat kaget dengan kehadiran Adek.
“Hehehehe, SUPRISEEEE!!”
“SAHHHHH” Teriak Abang yang dibalas toyoran oleh si Kakak
“Mba Denzaaa inii bunganyaaa” Kakak menyerahkan bunga dari tangannya
“Yaampun ih kakakkkk” Denza menerima bunga lalu memeluk kakak singkat
Sisanya, mereka habisnya dengan canda dan tawa, perseturuan Abang dan Adek masih ada, Kakak hanya tim menonton saja. Sedang Abi dan Denza sudah jangan ditanya, berasa dunia milik berdua.
Hari ini akan Abi ingat sepanjang masa, hari dimana penuh haru dan bahagia, juga bertambahnya penghuni rumah yang nantinya akan menjadi ; berlima