Si sulung bercerita tentang dunianya.

Mas Abi membuka matanya dengan perlahan, pening dikepalanya sudah tidak lagi terasa, juga suhu badannya kembali normal seperti biasa. Seminggu belakangan ini Mas Abi selalu sibukkan dengan bekerja, berharap sakit di hatinya dan masalah yang ada segera lupa, namun nyatanya tidak, setiap malam selalu terbayang perempuan yang selalu ia dambakan.

Abang yang sedang duduk bermain ponsel dengan sigap membantu Mas Abi untuk duduk dan meminum air putih, lalu tak lama pintu ruangan terbuka menampilkan dua saudaranya dengan masih menggunakan piyama, dan membawa makanan ditangannya untuk mereka makan bersama.

Dengan tenang mereka makan, sesekali Abang Arkais mengerjai adiknya, sifat usil yang tak pernah hilang dari dirinya.

“Mas, ini gaada Spongebob?” Mas Abi terkekeh melihat adek mengotak-atik Tv di ruangannya mencari serial kartun kesukaanya.

“Ada, nomer tiga.”

Setelah menghabiskan makanannya, Mas Abi kembali merebahkan dirinya, sedang Kakak dan Abang sibuk bermain game di ponselnya, Adek masih setia dengan Spongebob kesukaanya.

Berjam jam mereka habisakan seperti itu, sampai abang mematikan ponselnya dan bersandar pada kursi kerja,

“Mas, ada kita, kalau Mas lupa.” bisa dibilang, Abang itu paling peka terhadap segala hal, termasuk apa yang dirasa pada saudaranya, ia yang akan pertama datang tanpa mengucap kata dan menemani yang sedang terluka.

Mas Abi menatap adik-adiknya, selama ini ia tidak pernah membagi keluh kesanya tak ingin menambah beban, namun Mas Abi lupa, bahwa peran saudara ada untuk melengkapi satu dengan lainnya, menjadi bahu untuk orang yang sedang rapuh raganya.

Maka hari ini, si sulung bercerita tentang bagaimana harinya, bagaimana sakitnya, bahwa ia sedang merasa cape akan dunia, bahwa selama ini ia selalu berusaha dengan keras dan susah payah tanpa ibu dan ayah.

Beberapakali terseok-seok langkahnya, setiap malam selalu menangis dengan pilunya.

Ia menumpahkan segala rasa sesak dalam dada kepada adik-adiknya, tangisnya pecah tanpa suara, di peluknya tubuh rapuh itu oleh tiga raga lainnya, di genggam dengan hangat dan berkata, “Ada kita, Mas.” untuk si sulung yang dunianya sedang tidak baik-baik saja.

“Mas, maaf kalau menghubungi kamu lagi, tadi aku panik, cuma kepikiran kamu doang” Ujarnya canggung karena sudah seminggu mereka tidak bertegur sapa, bahkan untuk sekedar chat saja tidak.

Abi menampakkan senyumnya, di gengam tangan perempuannya dengan erat. “Gapapa, aku minta maaf kalau kemarin dengan gampangnya aku bilang ingin melepasmu, tapi sekarang, izinin aku perjuangin ya? aku gatau akhirnya seperti apa, tapi izinin kali ini aku berjuang dulu”

Denza menatap Abi dengan mata berbinar, “Serius, mas?”

Abi mengangguk, mengiyakan pertanyaannya.

“Ayo sama-sama, mas, sama-sama berjuang”

Semuanya lengkap berkumpul di meja makan sambil meneguk susu cokelat buatan Mas Abi

“Ada yang mau mas omongin”

Abang yang mendengar lantas paham dan mengangguk memberikan semangat.

“Kalau... Mas Abi menikah, bagaimana?” Kakak tersedak susu cokelatnya saat mendengar penuturan dari Mas Abi.

“Kalau itu berarti masih nanti kan ya, Mas?” Tanya Adek

Mas Abi menggeleng. “Dalam waktu dekat ini, kalau Mas Menikah, diizinkan enggak?”

Adek terdiam sempurna, sementara Kakak menatap dengan tidak terima, “Kok tiba-tiba?”

“Begini Kak, Dek,” Abang Arkais membantu Mas Abi berbicara “Papanya Mba Denza kan udah tua, mau liat anaknya nikah, apalagi Mba Denza Anak satu-satunya, kalau Mas Abi enggak segera ngambil keputusan, Mba Denza mau di jodohkan.”

“Tapi enggak harus tiba-tiba dong, bang?” Balas Kakak masih tidak terima.

“Kak, umur enggak ada yang tau, kemarin papanya Mba Denza masuk rumah sakit” Mas Abi masih berusaha mencoba, memang enggak mudah diterima apalagi dengan pernyataan yang terlalu tiba-tiba, “Tapi kalau Kakak sama Adek belum bisa, enggak papa, mungkin emang belum jodohnya aja.”

Abang menatap Kakak mencoba membujuknya, “Kakak gatau mas...”

“Adek butuh waktu”