nibiru

12, 11, 10, 9… ia terus menghitung mundur dengan harap yang menggaung

3, 2, 1… “serta mulia! panjang umur dan tabahnyaaa” ucap seseorang di depan cermin sana.

aku terdiam dalam sepi yang mencekam. haruskah aku berdoa untuk meminta sembuh atau meminta pulang agar seluruh luka meluruh? namun belum sempat ku tiup lilinnya, ia menyela dengan suara yang terdengar marah.

“kenapa tarikan nafasnya panjang sekali? kenapa bimbang, antara sembuh atau pulang?”

lagi-lagi aku menarik nafas panjang, menatap lamat lamat manik matanya. ia menggeleng pelan seraya mengelus palaku dengan sayang.

sebuah proyektor dengan layar mengudara memutar balik kilas dengan warna hitam dan putih. layar pertama menampilkan bagaimana ia lahir kedunia, lalu tumbuh merangkak tertatih tatih.

bun, kalau saat hancur ku disayang, apalagi saat ku jadi juara, saat tak tahu arah kau disana, menjadi gagah saat ku tak bisa,

setelahnya hening beberapa waktu, hingga tampilan terputar kembali dengan wajah diiringi senyum gingsul yang sempurna. ia tumbuh dengan luka, beranjak ditemani duka.

kita beranjak dewasa, jauh terburu seharusnya, bagai bintang yang jatuh, jauh terburu waktu, mati lebih cepat… mati lebih cepat…

“hingga terganti bagaimana ia selalu memainkan peran di panggung yang bukan seharusnya ia menjadi pemeran. dengan senyum merekah, aku tahu itu palsu, aku tahu itu palsu” ia menekan kalimat terakhirnya.

dengan beratku, ku tarik lemahku, sudah tugasku, menjadi sembuh, ku sulam senyum, meleburkan yang pilu, demi menjadi, aman tuk yang butuh,

bergantian aku, dengan dia yang di cermin.

proyektor mati, lagu berhenti, sunyi menyeruak kembali. aku tersadar, hanya ada aku dengan dia di cermin. hanya ada kita berdua, atau… hanya ada aku seharusnya?

“jangan dulu menyerah, aku dan kamu tau jalan ini masih panjang. kita bisa menggenggam untuk melawan, dengan segala luka dan bodohmu, hangat dan gigihmu”

lalu aku menarik nafas panjang, kali ini untuk meniup lilin yang sudah ingin habis sumbu nya

bahwa aku meminta sembuh dan mencintai ia di cermin sana.

bunga merah yang lelah dibuatnya merekah, seperti peluk yang mengizinkanku lebih luas dan tak gundah, seperti doa yang menjagaku dari rusak dan tak cukup, seperti doa yang menjagaku dari rusak dan tak cukup.

Dari banyaknya hal di dunia, menjadi keluarga Rahadian adalah hal yang tidak ingin abang tukar dengan apapun. Segala hal mungkin kurang sempurna, banyak sakitnya, banyak cacatnya, banyak rumpangnya. Namun ketika telapak tangan si sulung mulai mencari dan menautkan kepada tiga raga lainnya, semua hal yang kurang akan terasa sempurna. Sempurna dengan cacatnya.

Seperti biasa, sudah menjadi rutunitas abang dan mas untuk menyempatkan waktu luang di akhir minggu. Hanya bercengkrama, bertukar obrolan tentang rutinitas yang mereka jalani beberapa hari terakhir. Mungkin hal ini biasa untuk sebagian orang, tapi untuk mereka ini menjadi hal penting yang perlu di obrolkan.

“Kuliah aman?” Tanya mas Abi di bawah langit Sudirman, menemani si adik untuk melepas penat, katanya.

Asap rokok lepas keudara bersamaan dengan angin malam yang terasa tenang, hampir setengah bungkus malboro merah sudah di habiskan malam ini, tangan abang bergerak meletakkan rokok yang sisa satu jari kelingking untuk di matikan. “Stress anjing, tapi aman. Minggu depan sidang, sisanya tinggal wisuda”

Mas Abi mengangguk anggukan kepalanya sembari melihat dengan seksama wajah Abang Arkais, menatapnya dengan perasaan bangga.

“Keren.” Ucapnya haru, abangnya sudah berjalan sejauh ini ternyata.

Abang terkekeh, “Mas sendiri gimana, kantor aman?”

Mas Abi mengangkat jempolnya. “Aman!”

Kemudian mereka habiskan untuk makan seafood di pinggir jalan dengan backsound klakson kendaraan karena padatnya kota Jakarta yang bukan main adanya. Kadang, kalau sedang berjalan keluar membuat sesekali tersadar dan bersyukur. Ada anak kecil yang harus berjualan bahkan sampai larut seperti ini, ada yang sedang makan bersama keluarganya, ada pula wajah wajah kusut entah karena apa.

“Mas” panggil abang.

“Iya?”

Abang tampak berpikir sejenak, menimang apakah hal yang akan ia tanyakan perlu ditanyakan atau sebaiknya ia simpan sendirian? Namun belum selesai ia dapat jawaban, Mas Abi kembali bersuara.

“Bilang aja, bang. Kita udah sepakat kan untuk membahas apapun itu bersama?”

Abang memamerkan senyumnya. “Sebenernya ga penting banget sih mas… maksudnya apa ya.. penting sih, abang Cuma penasaran aja. Ah lieur, intinya gitu deh”

“Hahaha, iya sok” jawab mas

“Ini mah seandainya aja ya mas, SEANDAINYA LOH YAA” tekan abang di kalimat terakhirnya. “Kan kayak yang mas tau juga, kalau manusia itu enggak menetap. Bahkan dalam satu detik ke depan kita gaakan tau apa yang terjadi. Kalau seandainya… salah satu dari kita pulang… gimana?” Tanya nya ragu, salah satu dari kita adalah keluarganya, mencakup semua, bukan hanya mereka berdua.

Mendengar hal itu, Mas Abi yang ingin meneguk kopinya seketika gerakan tangannya terhenti, bahkan belum sampai ia teguk setetes pun. “Kalau menurut abang gimana? kalau mas enggak ada?” Tanya mas kembali.

“Dih curang mas mah, kan bang duluan yang nanya!” protes abang.

“Lagi nanyanya aneh-aneh aja.”

“Mas sendiri tadi yang bilang kalo tanyain aja hayo? Salah siapa? Salah abang?”

“Iya iya, stop it. Cerewet deh kamu, bang.” ucap mas.

“Ini abang nanya hal yang pasti loh”

“Iya mas tau, tapi menurut abang gimana?” masih belum menjawab, mas abi kembali menanyakan hal yang sama.

Abang memutar bola matanya sambil menggerutu dalam hati. Mas Abi yang melihat perubahan dari raut muka abang tertawa lepas, jarang jarang ia bisa membuat abangnya kesal.

“Em… gimana yaa…” ucapan abang menggantung di udara. “Ancur sih mas. Ngebayanginnya aja aku engga bisa apalagi ngejalaninnya. Kayaknya kalau mas engga ada jiwa aku ikut engga ada.”

“Jangan”

“Kenapa?”

“Hidup harus tetap berlanjut” seketika hawanya berubah menjadi dingin yang menusuk raga, bisingnya sudirman saat ini seolah di bungkam dan sunyi tiba-tiba. “Dunia enggak akan berputar buat kamu, abang. Jadi mau kamu hancur sekalipun, sudirman akan tetap ramai, gedung-gedungnya masih tinggi, dan semuanya akan terus berjalan. Engga ada yang peduli kamu hancur, dunia engga akan ikut berhenti.” Tuntas mas.

Abang bergeming mendengarnya, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Duduk dulu, tarik nafasnya yang panjang. Kecewa kalau abang mau kecewa, nangis kalau abang mau nangis, teriak kalau abang mau teriak. Tapi hidup abang enggak boleh berhenti, ya? Berhenti hanya diperbolehkan pada ia yang sudah mati.”

Abang menjawab ucapan mas dengan mengangguk, tanda ia paham. Dan mungkin akan melakukan jika seandainya, perlu garis bawahi, seandainya hal itu terjadi.

“Kalau mas, gimana?” Tanya abang.

“Lebur.”

Abang mengerutkan kening. “Hah?”

“Kalau kamu hancur, mas lebur. Gaakan bisa berbentuk lagi, engga akan bisa jadi satu lagi. Kalau seperti yang abang bilang, seandainya salah satu dari kita pulang…” nafas mas tiba tiba tercekat, seolah pasukan oksigen menghilang dan merenggut darinya. “Kalau salah satu dari kita pulang.. mas lebur, bang. Engga bisa utuh, sisa separuh” Sambungnya pelan.

Mata abang berkaca, siap meluncur kapan saja tapi ia tahan sedemikian rupa agar tidak tumpah. Padahal ia kira percakapannya akan selewat saja, tidak se serius yang ia duga. Tapi, memang membahas kepergian akan selalu menyakitkan, bukan?

Binar terpaku sejenak saat ia membuka pintu rumahnya dan melihat laki-laki yang hampir dua tahun tidak ia ketahui bagaimana keadaanya.

Perawakannya masih sama, hanya lebih tinggi beberapa centi dari sebelumnya, bola mata coklat hazel favoritenya, lengsu pipit, juga yang menjadi cirri khas nya adalah topi baseball yang warnanya sudah pudar itu masih ia kenakan juga hari ini.

“Hai?” sapa Kale yang terdengar sedikit canggung.

Binar menarik nafas nya sejenak, lalu membalas sapaan laki-laki itu. Hari ini, hari ini mungkin waktunya untuk menyelesaikan apa yang belum usai.

“Maaf” setelah bermenit-menit mereka habiskan dalam hening, akhirnya Kale berucap dengan pandangan menunduk menatap sepatu convers miliknya.

“Jadi tujuan kamu kesini buat apa?” tanya Binar langsung pada intinya.

“Mungkin kedengerannya terlalu brengsek, tapi, Nar. can we go back?

Binar terkekeh mendengarnya.

“Lucu ya, Le, tiga tahun. Tiga tahun loh kita, dari yang backstreet sampai ketahuan satu sekolah. Sempet kena rajia pacaran sama Pak Gandi terus akhirnya kita bikin drama putus hahaha lucu juga kalo di inget inget. Kita ngambis bareng, kejar kejaran peringkat sampai di nobatkan couple ngambis hahaha”

Dulu sekali, waktu masa sekolah mereka menjadi pasangan fenomenal yang dikenal seantreo sekolah. Dan lucunya pasangan yang dulu selalu melekat kemana mana kini terasa canggung dan sangat jauh berbeda.

“Orang tua aku cerai, Nar. Aku.. harus ikut papa ke Jerman” tutur Kale.

“Sorry... aku gatau soal itu.”

“Aku pikir, LDR sesuatu hal yang engga bisa menjadi pilihan.”

“Hahaha, itu lebih lucu, Le.” Binar menatap langit yang mulai berubah warnanya sambil tertawa sarkas.

I know kaleandra. Kamu engga inget dulu kita di tentang abis-abisan sama keluarga mu, Le. Gara gara katanya keluarga aku enggak setara. Tapi yang kamu dan aku lakuin apa? Dua tahun kita perjuangin sampai akhirnya di restuin. Terus dengan kamu LDR kamu nyerah gitu aja?”

Kale menatapnya dengan lubang penuh penyesalan sedang Binar sudah terlalu muak dengan keadaan.

Laki-laki itu menarik nafasnya seolah olah pasokan oksigen mulai habis menggerogotinya.

“Aku dijodohin.”

Sebuah fakta baru yang ternyata lebih memuakkan.

“Pas aku sampai di Jerman Papa kecelakaan, Nar. Keadaan Papa kritis, dan saat itu aku diminta menikah dengan pilihannya.”

“Lalu?”

“Aku gatau harus ngelakuin apa sampai akhirnya aku mengiyakan dan memutus kontak sepihak denganmu.” Kini pandangannya menatap Binar tepat dibola matanya. “Aku engga pernah sama sekali mencintai perempuan itu Nar.”

“Berarti kamu... sudah menikah?” Tanya Binar ragu pasalnya ia tidak melihat cincin tersemat di jemari laki laki itu.

Kale menggeleng. “Batal. Pas aku mau lamaran sama dia, aku baru tau kalau ini cuma bisnis semata. Papa bohong, Nar. Kecelakaan itu murni rekayasa, aku sama perempuan itu ngerasa sama-sama di bohongi dan kami memutuskan buat putus hubungan”

Binar masih mendengarkannya dengan seksama, ternyata sama- sama terdapat luka.

“Aku sekarang mutusin buat pergi dari rumah Papa, menjalani hidup sendiri.” Jelasnya mengisi pertanyaan-pertanyaan yang selama ini selalu terputar dalam kepala Binar.

“Kita usai gitu aja bahkan kata putus juga belum pernah di ucap” dan untuk pertama kalinya setelah bertahun tahun dipenuhi teka-teki dan luka yang membasahi, kini Binar harus bisa berdamai diri untuk sepenuhnya menutup buku yang sudah lama ia akhiri. “Jadi Kale, mari kali ini kita usai dengan sebenarnya.”

Pada hiruk piruknya kota Jakarta, sehabis keliling kota berbekal angin malam yang menjelajahi tubuh mereka, kini motor beat hitam itu berhenti di tempat yang akhir-akhir ini selalu mereka datangi. Tempat itu adalah blok M dengan tujuan gultik Pak Jaya. Kenapa gultik Pak Jaya? Ya karena gultik punya Pak Jaya.

“Ini tiga piring gultik buat neng Meda sama lima piring buat Mas Rasi seperti biasa” Pak Jaya sudah hafal dengan pesanan mereka yang selalu pada pukul sebelas malam.

Semakin malam justru semakin ramai akan manusia-manusia. Ada yang datang bersama pasangannya, ada juga bergerombol dengan teman sembari tertawa terpingkal-pingkal.

“Rasi” panggil Andromeda yang dijawab oleh kedua alis terngkat seolah berkata ‘apa?’ dengan mulut yang penuh dengan nasi.

“Aku mau nanya”

“Kenapa? Kamu pernah makan dinosaurus?” jawab Alkarasi dengan randomnya.

Mata Andromeda menyipit dengan sebal, “Aku jadi ga heran kenapa nama kamu Alkarasi Scorpius padahal lahir dibulan januari”

Rasi terkekeh dengan senyum manisnya, “Hahaha, mau nanya apa?”

“Kamu pernah makan dinosaurus?” tanya Andromeda kembali dengan wajah seriusnya.

Lalu sontak mereka berdua tertawa renyah menertawakan percakapan yang sangat tidak berbobot itu.

“Serius aku mau nanya” Ucapannya terjeda kala Pak Jaya datang membawakan dua gelas teh hangat.

“Minum dulu, angetin badannya,” ucap Rasi memberikan satu gelas teh hangat untuk Andromeda teguk.

Setelah meneguk beberapa teh hangat, Andomeda menatap lurus kearah Rasi untuk menanyakan pertanyaan yang memenuhi isi kepalanya.

“Kenapa kamu ga pernah nanya setiap aku lagi terpuruk? Alih-alih nanya atau ngasih saran, kamu cuma dateng ngulurin tangan terus ngajak aku muterin kota Jakarta yang pada akhirnya selalu di rute akhir gultik Pak Jaya” akhirnya dengan satu tarikan nafas Andromeda berhasil menyuarakan apa yang selama ini bersarang di pikirannya.

Rasi meletakkan piring kedua yang sudah habis di lahap lalu meneguk teh hangatnya, “Aku cuma ngajak kamu buat bertahan satu malam.”

Andromeda mengerutkan keningnya, “Maksudnya? Kenapa juga cuma satu malam?”

Rasi terkekeh dengan gigi gingsul khasnya yang selalu menjadi bagian favorite Andromeda.

“Karena kadang emang alesan bertahan perlu sesederhana itu.”

Andromeda masih tidak mengerti, menuntut meminta penjelasan namun Rasi hanya tersenyum melanjutkan piring ketiganya. Sampai akhirnya mereka telah selesai habis menyantap dengan bersih dan berjalan pergi bertautkan jemari lalu memasukkan ke kantong jaket milik Rasi.

Kini sudah Pukul setengah satu malam. Hal yang selanjutnya mereka biasa lakukan adalah pergi ke taman yang tidak jauh dari blok M lalu duduk dan mentap bintang malam.

Hal yang kebetulan sama-sama mereka sukai dan kebetulan lainnya adalah nama mereka berasal dari Rasi bintang.

Andromeda berarti Putri Andromeda di langit utara dekat Pegasus, Rasi yang cukup panjang dan redup membentuk huruf “A”

Sedangkan Alkarasi Scorpius diambil dari rasi bintang Scorpio dengan lambang kalajengking dan terletak diantara libra di sebelah barat dan sagitarius di sebelah timur.

“Ada tiga tipe manusia, Meda” ucap Rasi yang membuat Andromeda menoleh menatapnya.

“Yang pertama, ada manusia yang hanya butuh didengarkan dan ditemani merayakan kesedihannya. Karena pada dasarnya dia sudah tahu jawaban atas apa yang di permasalahkan.”

Andromeda mendengarkan dengan seksama, “Lalu yang kedua?” Tanya nya.

“Yang kedua, hanya butuh di dengarkan dan di beri saran. Walau sejatinya dia juga sudah tahu jawabannya, tetapi dia butuh validasi agar apa yang dia ambil itu enggak akan salah. Yang ketiga. Butuh didengarkan, diberi saran, dan ditemani.”

“Dan aku tahu kamu adalah tipe yang pertama, walau dalam beberapa persoalan kamu bisa menjadi tipe yang ketiga.” Rasi menjeda ucapannya sejenak, “karena kalau aku bertanya padamu malam hari, belum tentu paginya setuju.”

Ucapan Rasi semakin membuat Andromeda berpikir keras, “Sumpah aku engga ngerti.”

Rasi mengusik pelan rambut perempuannya. “Kalau pada saat itu aku Tanya, kamu mau bagaimana sama hidupmu, jawabanmu apa?” Rasi justru bertanya.

“menyerah mungkin?” jawab Andromeda dengan ragu, “Karena saat itu aku gapunya pikiran apa apa selain menyerah”

“Nah itu, jangan ngikutin hatimu dimalam hari karena ketika pagi datang belum tentu pikiranmu akan sama. Meda, gaada yang abadi kamu tau itu kan? Maka ketika kamu sedang merayakan kesedihanmu dimalam hari, kamu cukup bertahan pada malam itu.”

“Kalau paginya ternyata masih sama? Kan enggak ada jaminannya ketika pagi aku akan disambut langsung dengan bahagia”

“Berarti kamu bertahan kembali pada satu malam berikutnya. Ketika sedih masih datang juga, kamu cukup bertahan kembali satu malam. Seterusnya sampe pagi menyambutmu dengan bahagia dan kamu lupa untuk bertahan pada satu malam”

Perlahan sudut bibir Andromeda membuat lengkungan, ia paham maksud dari ucapannya Rasi.

Laki-laki itu selalu mengajaknya keliling kota untuk mengupayakan ia terus melihat pagi dan lupa akan sedih dimalam hari. Benar, ketika sedihmu tidak berkesudahan dan menyerah menjadi pilihan, kamu cukup bertahan satu malam hingga pagi menyambut dengan bahagia yang datang.

“Loh, ada Mas Abi?” Ucap Kakak Ghifari saat membuka kamar Abang Arkais dan melihat Mas Abi sedang duduk di bangku belajar milik abangnya.

“Kakak ngapain kesini?” Mas Abi bertanya balik.

“Mau cari gunting,”

Langkahnya mendekat kearah meja belajar yang tampak berantakan, beberapa buku berserakan sembarangan.

Mas Abi membantu mencarikan kala melihat Kakak kesulitan mencari keberadaan gunting. Dibukanya lemari kecil dibawah meja belajarnya dan ditemukan beberapa botol permen ChaCha.

“Mas Abi baru tau kalo Abang suka makan permen,”

“Akhir-akhir ini emang Abang lagi suka makan permen sih” Jawab Kakak sambil masih mencari gunting di sudut-sudut ruangan, barangkali terselip atau terjatuh.

Pandangan Mas Abi berganti pada buku sampul hitam yang suka ia lihat, dengan rasa penasaran ia ambil bukunya yang tergeletak di atas meja.

“NAH INI DIA!” Seru Kakak saat gunting yang ia cari akhirnya ketemu.

“Itu bukunya Abang gaada isinya, Mas.”

Mas Abi mengerutkan keningnya, “Masa, sih?” pasalnya ia pernah sekali melihat Arkais menulis di buku yang sedang ia pegang.

Kakak mengangguk, “Iya, buka aja kalo ga percaya.”

Saat hendak dibuka, tiba-tiba lampu padam total, membuat Kakak berteriak karena takut akan gelap dan buku yang Mas Abi pegang jatuh tergeletak di lantai dengan posisi terbuka.

“MAS KOK MATI LAMPU?! TANGAN MAS DIMANA SIH? KAKAK TAKUTT” Tangannya mencari-cari keberadaan tangan Mas Abi.

“Ini tangan Mas Abi” Digenggamnya dengan erat tangan Kakak, “Kakak calm down, nafas pelan-pelan. Gapapa, ada Mas Abi disini.” Ucap Mas Abi menenangkan.

“Kayaknya mati total deh, Kak, aduh handphone Mas ada di kamar lagi.”

“Kayaknya tadi Kakak liat ada senter kecil deh, Mas, dimeja belajar.”

Mas Abi berusaha dengan susah payah mencari senter dengan minimnya penerangan, diraba-raba meja belajar dengan tangan kirinya, sebab tangan kanannya di genggam dengan sangat erat oleh Kakak Ghifari.

“Eh ini kayaknya ketemu” Dan benar saja saat ditekan, cahaya remang-remang keluar dari senter milik Abangnya.

“Buka aja matanya, Kak. Ini udah ada cahaya sedikit, jadi enggak terlalu gelap.” Kakak akhirnya membuka matanya perlahan dengan masih mengeratkan tangannya pada genggaman Mas Abi.

“Keluar, yuk.”

Saat hendak keluar dan menyorot lantai, Kakak dibuat bungkam seketika karena buku hitam milik Abangnya itu terdapat tulisan yang sebelumnya hanya kertas kosong.

“Eh sebentar, Mas… coba sorot bukunya Abang lagi”

Benar, rupanya buku milik Abangnya dapat terlihat tulisan dengan jelas jika berada diruang gelap dan disorot oleh cahaya.

Diambilnya buku itu dan dibaca dengan seksama dari halaman ke halaman berikutnya. Hingga halaman terakhir terbuka dan membuat mata Mas Abi juga Kakak Ghifari yang tadinya berkaca-kaca, sekarang menitikkan air matanya, jatuh membasahi buku milik Abangnya, ikut merasakan… rasa sakitnya.

Ternyata, sosok yang selama ini ia kira baik-baik saja, sangat jauh dari apa yang di duga.

Abang Arkais Nareshwara, tuan dengan senyum yang lekat pada wajahnya, bahkan mungkin beberapa orang menganggap dunianya selalu menyenangkan dan sempurna. Padahal kalau ditelusuri lebih dalam, setiap sisinya terdapat luka, setiap incinya sangat mudah dipatahkan karena terlalu rapuhnya.

“Loh? kok kita ke pantai? rumah temen kamu di deket sini, Mas?” Denza mengerutkan keningnya merasa kebingungan, namun Abi tidak menjawab dan terus berjalan sambil bergandeng tangan

Di sisi lain, Adek, Kakak, dan Abang tengah bersembunyi sembari merekam untuk dokumentasi

“Halo gais, Hari ini Mas Abi mau ngelamar Mba Denza, tuh tuh liat lagi jalan di tepi pantai Mas Abi nya” Abang mengarahkan kamera dan memfokuskan kearah Mas Abi

“Aduh aus, ambilin minum tolong kak” Ujar Abang sambil masih memegang kamera di tangan kanannya “Tolong pegangin dulu kameranya”

“Ih Abang jangan gerak-gerak nanti jelek hasilnya!” protes Adek

“Ya gue aus cil masa minumnya pake tangan kiri?”

“EH UDAH-UDAH ITU KAYAKNYA MAS ABI UDAH MAU NGELAMAR TUH CINCINNYA MAU DIKELUARIN, ADEK AWAS BUNGANYA JANGAN DI DUDUKIN!” Ucap Kakak dengan hebohnya.


Abi memberhentikan langkahnya dan berdiri menghadap Denza, masih setia pada genggamannya.

“Mas kamu kenapa sih aneh banget?”

Abi menarik nafasnya dan menetralisir gugupnya, “Za” panggilnya

“Iyaa?”

“Hala Blythe Cadenza” Panggilnya lagi.

“Iya sayangkuuu ada apaa? kamu kenapa sih kok keliatan gugup gitu?”

Abi melepas genggamannya dan mengambil kotak cincin di saku celananya, membukanya tepat di hadapan perempuannya.

“Za, izinkan aku, Abiezar Kazeem untuk menyatakan segala rasa tentang kamu, cinta, dan kita.”

Denza menatap Abi dengan pandangan kaget tidak percaya, menutup mulutnya dan muncul gerut merah di pipinya.

“Ketika awal mula kita bertemu dengan tidak sengaja di perpustakaan kota, dan membawa pada pertemuan-pertemuan selanjutnya hingga akhirnya membuat kata aku dan kamu menjadi kita.”

Abi menjeda kalimatnya, senyumnya kian merekah, kicauan burung-burung ikut serta menyaksikan dua insan yang sedang memberikan kabar bahagia.

“Katanya, hubungan yang dijalin bertahun-tahun akan monoton, rasa bosan datang dan mengikis rasa sayang. Tapi sialnya, justru dari hari ke hari perasaan ini semakin membuat ingin terjebak bersama perempuan cantik bernama Denza”

Denza masih diam tidak berkutik, rasa haru, malu, tersipu, menyeruak dalam dadanya.

“Dan sore ini, aku sudah memantap kan hati”

Mas Abi berlutut di hadapan perempuannya sambil menggantungkan tangan kanannya di udara dengan kotak cincin manis yang terbuka

“Di temani cantiknya langit senja juga semesta sebagai saksinya, mau kah kamu, Denza, menikah dengan aku? membangun rumah yang tidak langsung mewah dan sempurna, melainkan sederhana dengan pondasi kasih dan cinta.

Mau kah untuk tetap menggenggam tangan ini hingga akhir cinta kita, sampai tua, sampai jadi debu?”

Air mata Denza sudah lolos berjatuhan, mentap Abi dengan perasaan yang sulit dijelaskan, lalu mengangguk memberikan jawaban.

“Iya mas... aku mau”

Abi mengaitkan cincinnya dijemari cantik perempuannya, lalu mendekapnya dan saling menebar rasa bahagia.

“Huhuhu Mas Abiiii” Adek yang pertama keluar dan segera mendekat ke arah Mas nya dengan air mata yang ikut berjatuhan

Lalu disusul Kakak yang memegang buket bunga dan Abang yang masih merekam

“Loh Adek?” lagi, Denza dibuat kaget dengan kehadiran Adek.

“Hehehehe, SUPRISEEEE!!”

“SAHHHHH” Teriak Abang yang dibalas toyoran oleh si Kakak

“Mba Denzaaa inii bunganyaaa” Kakak menyerahkan bunga dari tangannya

“Yaampun ih kakakkkk” Denza menerima bunga lalu memeluk kakak singkat

Sisanya, mereka habisnya dengan canda dan tawa, perseturuan Abang dan Adek masih ada, Kakak hanya tim menonton saja. Sedang Abi dan Denza sudah jangan ditanya, berasa dunia milik berdua.

Hari ini akan Abi ingat sepanjang masa, hari dimana penuh haru dan bahagia, juga bertambahnya penghuni rumah yang nantinya akan menjadi ; berlima

Mba Denza memasuki ruangan bimbingan konseling dan melihat sudah ada beberapa orang didalam, adek nampak terkejut pasalnya ia mengira yang datang Mas abi, atau paling tidak Abang Arkais, diluar dugaan justru Mba Denza datang dengan senyum dibibirnya mendekati dan duduk disebelahnya.

“Nah ini kakaknya dateng, eh mba! bilang ya sama adeknya sopan santunnya dijaga, main mukulin anak saya aja!” ibu berbaju merah nampak marah

Mba Denza mengerutkan keningnya, tidak paham akan yang terjadi, “Sebentar ibu, saya belum tau akar masalahnya gimana, bisa tolong jelaskan?”

“Sekala mukul saya sampe kening saya berdarah! pantes sih ga punya sopan santun, orang tua aja ga punya” Ucap si anak dari ibu berbaju merah, Lantas sekala yang mendengarnya berdiri tidak terima.

“Reza anjing! lo duluan yang gangguin gue dikantin, sampe ngata ngatain orang tua, lo juga yang mukul gue pertama kali bangsat”

persetan dengan omongan kasarnya dihadapan guru-guru, ia sudah kalang kabut akibat amarahnya.

“Sudah-sudah! jadi yang benar yang mana?”

“Saya!” anak bernama Reza itu menyaut.

“Kalau bapak nggak percaya, panggil ibu kantin aja, dia saksinya” Balas Sekala.

Muka Reza memancarkan kepanikan, namun bapak guru akhirnya memanggilkan ibu kantin dan memberikan kesaksian.

“Bu, lain kali anaknya di ajarin sopan santun ya, masih untung adek saya cuma bikin keningnya berdarah, orang yang enggak punya sopan santun harusnya berakhir di rumah sakit aja.” Ucap Mba Denza lalu menepuk pundak Sekala, “Yuk, udah kan masalahnya beres?”

Ibu yang dipanggil kini menunduk malu, serta Reza yang nyolot luar biasa dikenakan sangsi berupa scors selama tiga hari.


Setelah urusan di sekolah Sekala selesai, Mba Denza membawa Sekala ke kedai eskrim langganan untuk menyejukkan hati sejenak, serta menyobati luka di sudut bibir akibat perkelahian tadi.

“Gapapa, Adek udah ngelakuin yang bener kok, orang kaya gitu emang pantes ditonjok” Ucap Mba Denza sambil menutup luka di sudut bibirnya dengan kasa

“Mba, makasih.”

Mba Denza terkekeh melihat Sekala yang tampak canggung dengannya

“Dimakan itu eskrimnya dek, nanti meleleh.”

Sekala memainkan jemari kakinya, masih canggung dibuatnya.

“Mba” panggilnya lagi

“Iya?”

Helaan nafas Sekala terdengar, “Adek takut” Mba Denza mengangguk paham, ditaronya eskrim di meja lalu memegang pundak Sekala dan menatap nya.

“Apa yang adek takutkan, coba bilang”

Setelah kepergian kedua orang tuanya, Sekala masih terdapat trauma, bagaimana jika ia ditinggalkan tiba-tiba, bagaimana jika satu-satu nya hal yang ia punya pergi meninggalkannya.

Maka ketika hal yang ia punya itu keluarga, Mas Abi, Abang Arkais, Kakak Ghifari, maka ia jaga sebaik mungkin, ia gengam dengan erat.

Ketika satu tahun yang lalu Abang Arkais balapan dan kecelakaan, lalu koma berbulan-bulan, sungguh rasanya dunia Adek hancur seketika, rasa takut akan kehilangan kembali menyeruak dalam dada.

Dan kali ini, ketika Mas abi meminta izin untuk menikah, ia takut jika nantinya semuanya berubah, jika nantinya, Mas Abi pergi meninggalkannya dan sibuk dengan keluarga kecilnya, takut kalau prasangka buruknya menjadi kenyataan.

“Adek takutkan semuanya”

Mba Denza tersenyum dengan hangat, “Adek, dengerin Mba Denza, ya? Adek ga perlu takut, gaada yang berubah dari Mas Abi menikah, oke ada yaitu Mba Denza menjadi bagian dari keluarga nya Adek, tapi adek tenang aja, nantinya perhatiannya Mas Abi gaakan hilang, percaya sama Mba Denza, nantinya juga kita tetap tinggal bareng, bedanya sekarang berlima.”

“Nanti adek masih bisa main bareng Mas Abi, nanti malah kita bisa masak bareng! Mba Denza enggak akan ambil Mas Abi dari Adek, enggak. Kita juga gaakan jauh-jauh dari adek, kakak, maupun abang. Kita tetep ada, bedanya nanti akan berlima.”

Mas Abi membuka matanya dengan perlahan, pening dikepalanya sudah tidak lagi terasa, juga suhu badannya kembali normal seperti biasa. Seminggu belakangan ini Mas Abi selalu sibukkan dengan bekerja, berharap sakit di hatinya dan masalah yang ada segera lupa, namun nyatanya tidak, setiap malam selalu terbayang perempuan yang selalu ia dambakan.

Abang yang sedang duduk bermain ponsel dengan sigap membantu Mas Abi untuk duduk dan meminum air putih, lalu tak lama pintu ruangan terbuka menampilkan dua saudaranya dengan masih menggunakan piyama, dan membawa makanan ditangannya untuk mereka makan bersama.

Dengan tenang mereka makan, sesekali Abang Arkais mengerjai adiknya, sifat usil yang tak pernah hilang dari dirinya.

“Mas, ini gaada Spongebob?” Mas Abi terkekeh melihat adek mengotak-atik Tv di ruangannya mencari serial kartun kesukaanya.

“Ada, nomer tiga.”

Setelah menghabiskan makanannya, Mas Abi kembali merebahkan dirinya, sedang Kakak dan Abang sibuk bermain game di ponselnya, Adek masih setia dengan Spongebob kesukaanya.

Berjam jam mereka habisakan seperti itu, sampai abang mematikan ponselnya dan bersandar pada kursi kerja,

“Mas, ada kita, kalau Mas lupa.” bisa dibilang, Abang itu paling peka terhadap segala hal, termasuk apa yang dirasa pada saudaranya, ia yang akan pertama datang tanpa mengucap kata dan menemani yang sedang terluka.

Mas Abi menatap adik-adiknya, selama ini ia tidak pernah membagi keluh kesanya tak ingin menambah beban, namun Mas Abi lupa, bahwa peran saudara ada untuk melengkapi satu dengan lainnya, menjadi bahu untuk orang yang sedang rapuh raganya.

Maka hari ini, si sulung bercerita tentang bagaimana harinya, bagaimana sakitnya, bahwa ia sedang merasa cape akan dunia, bahwa selama ini ia selalu berusaha dengan keras dan susah payah tanpa ibu dan ayah.

Beberapakali terseok-seok langkahnya, setiap malam selalu menangis dengan pilunya.

Ia menumpahkan segala rasa sesak dalam dada kepada adik-adiknya, tangisnya pecah tanpa suara, di peluknya tubuh rapuh itu oleh tiga raga lainnya, di genggam dengan hangat dan berkata, “Ada kita, Mas.” untuk si sulung yang dunianya sedang tidak baik-baik saja.

“Mas, maaf kalau menghubungi kamu lagi, tadi aku panik, cuma kepikiran kamu doang” Ujarnya canggung karena sudah seminggu mereka tidak bertegur sapa, bahkan untuk sekedar chat saja tidak.

Abi menampakkan senyumnya, di gengam tangan perempuannya dengan erat. “Gapapa, aku minta maaf kalau kemarin dengan gampangnya aku bilang ingin melepasmu, tapi sekarang, izinin aku perjuangin ya? aku gatau akhirnya seperti apa, tapi izinin kali ini aku berjuang dulu”

Denza menatap Abi dengan mata berbinar, “Serius, mas?”

Abi mengangguk, mengiyakan pertanyaannya.

“Ayo sama-sama, mas, sama-sama berjuang”

Semuanya lengkap berkumpul di meja makan sambil meneguk susu cokelat buatan Mas Abi

“Ada yang mau mas omongin”

Abang yang mendengar lantas paham dan mengangguk memberikan semangat.

“Kalau... Mas Abi menikah, bagaimana?” Kakak tersedak susu cokelatnya saat mendengar penuturan dari Mas Abi.

“Kalau itu berarti masih nanti kan ya, Mas?” Tanya Adek

Mas Abi menggeleng. “Dalam waktu dekat ini, kalau Mas Menikah, diizinkan enggak?”

Adek terdiam sempurna, sementara Kakak menatap dengan tidak terima, “Kok tiba-tiba?”

“Begini Kak, Dek,” Abang Arkais membantu Mas Abi berbicara “Papanya Mba Denza kan udah tua, mau liat anaknya nikah, apalagi Mba Denza Anak satu-satunya, kalau Mas Abi enggak segera ngambil keputusan, Mba Denza mau di jodohkan.”

“Tapi enggak harus tiba-tiba dong, bang?” Balas Kakak masih tidak terima.

“Kak, umur enggak ada yang tau, kemarin papanya Mba Denza masuk rumah sakit” Mas Abi masih berusaha mencoba, memang enggak mudah diterima apalagi dengan pernyataan yang terlalu tiba-tiba, “Tapi kalau Kakak sama Adek belum bisa, enggak papa, mungkin emang belum jodohnya aja.”

Abang menatap Kakak mencoba membujuknya, “Kakak gatau mas...”

“Adek butuh waktu”

Denza dan Abi sudah berada di cafe tempat biasa mereka bercengkrama, entah kadang membahas hal penting atau sekedar bercerita bagaimana harinya.

Tiga tahun keduanya menjalani hubungan, pahit, manis, asam, sudah dilalui bahkan sempat beberapakali kata nyerah menghampiri, namun mereka kembali mengeratkan tangannya untuk sama-sama berjuang.

“Mas,” Panggil Denza menatap Abi serius.

“Hm? kenapa cantik?”

Denza mengigiti bibir bawahnya, gugupnya menghampiri lebih dari sebelumnya, “Nikah, yuk” akhirnya yang ia tahan sedari tadi keluar dari mulutnya.

Abi memandang Denza serius lalu tawanya pecah seketika. “Tiba-tiba banget?”

Denza menggerutu, karena respon Abi hanya menganggap ucapannya sekedar candaan,

Memang sedari awal mereka memulai hubungan, setiap ditanya prihal nikah, Abi selalu menjelaskan alasannya, dan Denza pun memaklumi itu, toh ia juga tidak ingin terlalu cepat menikah,

Namun kali ini berbeda, dua hari yang lalu Denza sempat bercengkrama dengan sang papa, membicarakan prihal hubungan keduanya.

“Mas, aku serius.”

Abi menggenggam tangan Denza, “You know my answer, Za” ucapnya perlahan.

“Iya i know, tapi mas” Denza membuang nafasnya gusar, lalu dengan ragu ia meneruskan ucapannya. “Aku mau dijodohin”

Abi terdiam seribu bahasa, senyum yang melekat hilang seketika mendengar penuturan perempuan didepannya.

“Di... jodohin, za?” Tanya Abi kembali memastikan, takut-takut pendengarannya salah tangkap.

Namun respon Denza mengangguk, membenarkan pertanyaanya.

“Iya, rabu papa ke apartemen aku, dan dia nanyain hubungan kita, papa bilang kalo kamu gak segera nikahin aku, aku mau dijodohkan sama pilihannya. Papa udah tua mas, dia cuma pengen ngeliat dan jadi saksi anaknya menikah.”

Abi memejamkan matanya, tak mampu berbicara. Dari awal pacaran, pembahasan nikah sempat di obrolkan dan jawaban Abi selalu sama, ia belum bisa untuk saat ini karena masih ingin memfokuskan dirinya pada adik-adiknya, bersama melihat tumbuh dewasa yang tidak bisa adik-adiknya rasakan bersama orang tua.

Abi tidak ingin perhatian yang adik-adiknya selama ini kurang di dapat harus semakin berkurang karena nantinya tanggungjawabnya bertambah, dan perhatiannya akan terpecah, terutama adek, ia pun tidak yakin adek bisa menerima.

“Aku... aku belum bisa, za” Cicit Abi tak berani menatap perempuannya.

Denza menahan tangisnya, matanya memerah, “Ayo mas, kali ini, ayo berjuang” pintanya.

“Cantiknya aku... dari pada berjuang untuk hal yang tidak pasti, jangan, ya? aku gamau kalau nantinya melukaimu lebih dalam dengan harapan.”

Tangisnya pecah, Abi masih menggenggam tangan perempuannya dengan lembut dan mengelap air matanya.

“Aku mau dijodohin loh mas?” Ujar Denza dengan frustasi.

“Kamu rela aku sama yang lain? kamu rela perempuanmu bahagia bersama laki laki lain?” Tanya Denza kembali.

Yang satu berperan sebagai anak sulung dan satunya anak tunggal.

Abi memandang perempuannya dengan tatapan kosong, pikirannya sudah kalut kemana-mana, “Sumpah demi apapun aku cinta kamu, Za. Tapi untuk jenjang serius... aku rasa aku belum bisa.”

Denza melepas tangannya dari genggaman Abi, membuang muka mendengar jawaban yang tidak ia harapkan, “Terus kamu maunya apa? maunya kita gimana?” Tanya Denza final.

Abi mengepalkan tangannya, perasaannya pun sudah tidak karuan, memikirkan keputusan terbaik yang tidak akan menjadi baik, sejujurnya.

Dengan satu tarikan nafas, Abi memberikan keputusan finalnya. “Aku... melepasmu, ya?”

Abi hanya tidak ingin jika ia tetap mempertahankan justru memperburuk hubungan perempuannya dengan sang papa, ia mengerti sekali keinginan papanya, namun tanggungjawab sebagai sulung dan tulang punggung keluarga, juga pondasi adik-adiknys yang saat ini dipunya hanya Abi.

Tanpa memberikan jawaban kembali Denza meninggalkan Abi dan pergi.

Mobil Mas Abi terparkir rapih di halaman TPU lalu keempat anak laki-laki turun dan melangkahkan kakinya dengan rasa penuh rindu ke depan pusaran bertuliskan Akbar Rahadian

Sosok yang mereka panggil dengan sebutan Ayah, sosok yang mengajarkan mereka arti kehidupan dan selalu berkata, “Ayah bangga, anak ayah hebat!” apapun yang mereka lakukan, entah gagal maupun berhasil.

Mereka berempat menaburkan air dan bunga, lalu memejamkan matanya, berdoa untuk yang diatas sana.

“Assalamualaikum, yah, Mas Abi datang sama adik-adik. Ayah... apa kabar?”

Anak paling tua itu meneteskan air matanya, mengeluarkan segala rasa rindu dihadapan makam sang Ayah.

Setiap sore Mas Abi dan ayah pasti memandikan burung-burung kesayangan Ayah sambil bercengkrama

“Mas, kalau ayah jadi ketua RT, bagaimana?” Tanya Ayah bercanda.

“Bagus dong! nanti Mas Abi jadi anak ketua RT, keren!” Ucap Mas Abi yang masih berusia delapan tahun

Ayah terkekeh, “Berarti tanggung jawab ayah bertambah, gak ah mas, ayah takut enggak amanah. Laki-laki itu harus bisa bertanggung jawab sama apa yang di ucap dan apa yang di perbuat”

“Kalau enggak bertanggungjawab, gimana?” Tanya Mas Abi dengan rasa penasarannya

“Nanti di minta pertanggungjawaban nya sama tuhan langsung, jadi peran ayah di dalam keluarga saja udah sebuah tanggung jawab yang besar, ayah harus bisa mendidik dan menjaga keluarga dengan baik. Mas nanti kalau sudah besar dan mengerti banyak hal, harus bisa memperlakukan manusia sebaik-baiknya, ya? kalau diberi amanah, dijaga dengan baik, juga harus jadi laki-laki yang bertanggungjawab. Sekarang tanggungjawab Mas sebagai anak pertama itu menjaga adik-adiknya, dirangkul dengan hangat.”

Adik-adik sudah besar, yah. Abang sudah kuliah bahkan ingin lulus dan mendapat gelar sarjana, kakak kemarin keterima di kampus impiannya, dan adek dikit lagi masuk SMA. Mas abi udah menjaga adik-adik, yah, Mas berusaha bertanggung jawab seperti kata Ayah waktu itu. Tapi Mas masih banyak kurangnya, bantu Mas Abi ya, Ayah? doakan dari atas sana.


Abang Arkais menatap pusaran Ayah dengan pandangan sendu, terus memandang tanpa mengeluarkan air mata, tidak seperti ketiga lainnya yang sudah terisak dengan pilunya.

“Masyallah anak ayah satu ini” Ucap Ayah sambil mengelus dadanya akibat perbuatan Abang memecahkan gelas karena sibuk berlari-larian.

“Sini, anak Ayah yang bandelnya luar biasa, Ayah doain dulu” Panggil Ayah menyuruh Abang Arkais mendekat, anak paling bandel, tidak bisa diam itu sudah tertanam dari ia kecil.

Abang mendekat dengan ragu lalu duduk di pangkuan Ayah, tangan kanan Ayah menyentuh kepala Abang dan mengusik rambutnya pelan.

“Anak Ayah Arkais Nareshwara, semoga sukses dunia akhirat, semoga Abang bisa menuntun adik-adiknya ke jalan yang benar, semoga hidupnya di selimuti bahagia, semoga nakalnya hilang pelan-pelan, dan bisa menjadi kebanggan hingga nanti, aminnn” Lalu diciumnya kepala abang dengan kasih, perlakuan yang selalu Ayahnya berikan setiap ia melakukan kesalahan atau berbuat nakal, memarahinya dan menasehatinya lalu berakhir dengan doa agar hidupnya berkah.

Ayah, anak bandelnya ini masih bandel walau tidak se nakal dulu, Abang minta maaf ya, Ayah, masih belum bisa menjadi kebanggan. Tapi Abang usahakan, Ayah... anak bandelnya ini rindu...


“Selamat hari Ayah, superhero nya kakak! Ayah... kakak berhasil yah, kakak berhasil gapai mimpinya kakak...” Tuturnya terputus-putus akibat tangisnya

Anak ketiga, anak paling lurus dan tidak pernah neko-neko kalau kata Ayah. Setiap pulang les pasti Ayah menjemputnya dan berakhir dengan mampir jajan atas reward dari Ayah karena kakak sudah berusaha dengan keras.

Selalu terselip obrolan entah bercanda gurau atau kakak yang antusias membicarakan apa yang tadi ia kerjakan

“Ayah! tadi pas ulangan matematika Kakak salah dua, padahal Kakak udah belajar sungguh-sungguh” Kakak bercerita sambil memakan eskrim vanilla ditangannya.

Ayah mengelap bekas eskrim di pipi kiri Kakak. “Keren dong Kakak! gapapa salah mah biasa, kak. Nanti di pelajarin lagi, di coba lagi, pasti bisa dapat yang sempurna. Yang namanya proses enggak ada yang mulus-mulus aja, Kakak udah hebat banget itu cuma salah dua”

Yah... anak yang dulu selalu di jemput les ini sudah mau masuk kuliah, Kakak berhasil, yah. Biasanya Ayah selalu ngajak Kakak jajan atas apresiasi, sekarang Kakak gabisa dapet itu lagi, ya? doain Kakak terus ya, Yah. Kakak mau Ayah datang ke mimpi kakak, bisa enggak, yah? Kakak rindu.


Adek yang tangisnya sudah pecah sedari tadi kini di peluk oleh Mas, Abang, dan Kakak. “Ayah... ini adek, berat yah, tanpa Ayah..”

Si bungsu yang punya waktu paling sedikit dengan sang Ayah, si bungsu yang setiap makan harus di gendong dan diajak keliling komplek sama Ayah.

“Adek sekala aaaaaa..... helikopter nya mau masuk ayo buka mulutnya!” Ayah memutar-mutar tangan yang memegang sendok berisi bubur lalu mendaratkannya ke mulut si bungsu.

“Adek, kalau besar mau jadi apa?” Tanya Ayah pada saat Adek baru memasuki umur enam tahun

Adek berpikir sebentar, “Gatau, Adek cuma mau jadi adek sendiri, sama Ayah, Ibu, Mas, Abang, Kakak”

Ayah tersenyum kecil memandang si bungsu, “Iya, jadi diri sendiri aja ya dek, tapi kalau adek mau jadi dokter juga gapapa, atau mau jadi pilot? yang penting apapun yang dijalaninnya di lakuin dengan senang.”

Ayah yang saat Adek pertamakali memasuki sekolah dasar setia menunggu didepan ruangan karena tidak mau ditinggal, Adek yang selalu manja ini sudah tumbuh besar, Yah.

Adek masih sering nangisin Ayah, masih cengeng, Ayah baik-baik, ya? Adek disini punya Mas Abi, Abang Arkais, Kakak Ghifari yang ngejagain Adek dengan baik, ayah tenang aja.

Keempat jagoannya sudah tumbuh dengan sempurna walau tanpa sosok Ayah, setiap peran memiliki sakitnya masing-masing, tapi mereka bisa, bisa bertahan karena saling punya satu dengan lainnya.