Mobil Mas Abi terparkir rapih di halaman TPU lalu keempat anak laki-laki turun dan melangkahkan kakinya dengan rasa penuh rindu ke depan pusaran bertuliskan Akbar Rahadian
Sosok yang mereka panggil dengan sebutan Ayah, sosok yang mengajarkan mereka arti kehidupan dan selalu berkata, “Ayah bangga, anak ayah hebat!” apapun yang mereka lakukan, entah gagal maupun berhasil.
Mereka berempat menaburkan air dan bunga, lalu memejamkan matanya, berdoa untuk yang diatas sana.
“Assalamualaikum, yah, Mas Abi datang sama adik-adik. Ayah... apa kabar?”
Anak paling tua itu meneteskan air matanya, mengeluarkan segala rasa rindu dihadapan makam sang Ayah.
Setiap sore Mas Abi dan ayah pasti memandikan burung-burung kesayangan Ayah sambil bercengkrama
“Mas, kalau ayah jadi ketua RT, bagaimana?” Tanya Ayah bercanda.
“Bagus dong! nanti Mas Abi jadi anak ketua RT, keren!” Ucap Mas Abi yang masih berusia delapan tahun
Ayah terkekeh, “Berarti tanggung jawab ayah bertambah, gak ah mas, ayah takut enggak amanah. Laki-laki itu harus bisa bertanggung jawab sama apa yang di ucap dan apa yang di perbuat”
“Kalau enggak bertanggungjawab, gimana?” Tanya Mas Abi dengan rasa penasarannya
“Nanti di minta pertanggungjawaban nya sama tuhan langsung, jadi peran ayah di dalam keluarga saja udah sebuah tanggung jawab yang besar, ayah harus bisa mendidik dan menjaga keluarga dengan baik. Mas nanti kalau sudah besar dan mengerti banyak hal, harus bisa memperlakukan manusia sebaik-baiknya, ya? kalau diberi amanah, dijaga dengan baik, juga harus jadi laki-laki yang bertanggungjawab. Sekarang tanggungjawab Mas sebagai anak pertama itu menjaga adik-adiknya, dirangkul dengan hangat.”
Adik-adik sudah besar, yah. Abang sudah kuliah bahkan ingin lulus dan mendapat gelar sarjana, kakak kemarin keterima di kampus impiannya, dan adek dikit lagi masuk SMA. Mas abi udah menjaga adik-adik, yah, Mas berusaha bertanggung jawab seperti kata Ayah waktu itu. Tapi Mas masih banyak kurangnya, bantu Mas Abi ya, Ayah? doakan dari atas sana.
Abang Arkais menatap pusaran Ayah dengan pandangan sendu, terus memandang tanpa mengeluarkan air mata, tidak seperti ketiga lainnya yang sudah terisak dengan pilunya.
“Masyallah anak ayah satu ini” Ucap Ayah sambil mengelus dadanya akibat perbuatan Abang memecahkan gelas karena sibuk berlari-larian.
“Sini, anak Ayah yang bandelnya luar biasa, Ayah doain dulu” Panggil Ayah menyuruh Abang Arkais mendekat, anak paling bandel, tidak bisa diam itu sudah tertanam dari ia kecil.
Abang mendekat dengan ragu lalu duduk di pangkuan Ayah, tangan kanan Ayah menyentuh kepala Abang dan mengusik rambutnya pelan.
“Anak Ayah Arkais Nareshwara, semoga sukses dunia akhirat, semoga Abang bisa menuntun adik-adiknya ke jalan yang benar, semoga hidupnya di selimuti bahagia, semoga nakalnya hilang pelan-pelan, dan bisa menjadi kebanggan hingga nanti, aminnn” Lalu diciumnya kepala abang dengan kasih, perlakuan yang selalu Ayahnya berikan setiap ia melakukan kesalahan atau berbuat nakal, memarahinya dan menasehatinya lalu berakhir dengan doa agar hidupnya berkah.
Ayah, anak bandelnya ini masih bandel walau tidak se nakal dulu, Abang minta maaf ya, Ayah, masih belum bisa menjadi kebanggan. Tapi Abang usahakan, Ayah... anak bandelnya ini rindu...
“Selamat hari Ayah, superhero nya kakak! Ayah... kakak berhasil yah, kakak berhasil gapai mimpinya kakak...” Tuturnya terputus-putus akibat tangisnya
Anak ketiga, anak paling lurus dan tidak pernah neko-neko kalau kata Ayah. Setiap pulang les pasti Ayah menjemputnya dan berakhir dengan mampir jajan atas reward dari Ayah karena kakak sudah berusaha dengan keras.
Selalu terselip obrolan entah bercanda gurau atau kakak yang antusias membicarakan apa yang tadi ia kerjakan
“Ayah! tadi pas ulangan matematika Kakak salah dua, padahal Kakak udah belajar sungguh-sungguh” Kakak bercerita sambil memakan eskrim vanilla ditangannya.
Ayah mengelap bekas eskrim di pipi kiri Kakak. “Keren dong Kakak! gapapa salah mah biasa, kak. Nanti di pelajarin lagi, di coba lagi, pasti bisa dapat yang sempurna. Yang namanya proses enggak ada yang mulus-mulus aja, Kakak udah hebat banget itu cuma salah dua”
Yah... anak yang dulu selalu di jemput les ini sudah mau masuk kuliah, Kakak berhasil, yah. Biasanya Ayah selalu ngajak Kakak jajan atas apresiasi, sekarang Kakak gabisa dapet itu lagi, ya? doain Kakak terus ya, Yah. Kakak mau Ayah datang ke mimpi kakak, bisa enggak, yah? Kakak rindu.
Adek yang tangisnya sudah pecah sedari tadi kini di peluk oleh Mas, Abang, dan Kakak. “Ayah... ini adek, berat yah, tanpa Ayah..”
Si bungsu yang punya waktu paling sedikit dengan sang Ayah, si bungsu yang setiap makan harus di gendong dan diajak keliling komplek sama Ayah.
“Adek sekala aaaaaa..... helikopter nya mau masuk ayo buka mulutnya!” Ayah memutar-mutar tangan yang memegang sendok berisi bubur lalu mendaratkannya ke mulut si bungsu.
“Adek, kalau besar mau jadi apa?” Tanya Ayah pada saat Adek baru memasuki umur enam tahun
Adek berpikir sebentar, “Gatau, Adek cuma mau jadi adek sendiri, sama Ayah, Ibu, Mas, Abang, Kakak”
Ayah tersenyum kecil memandang si bungsu, “Iya, jadi diri sendiri aja ya dek, tapi kalau adek mau jadi dokter juga gapapa, atau mau jadi pilot? yang penting apapun yang dijalaninnya di lakuin dengan senang.”
Ayah yang saat Adek pertamakali memasuki sekolah dasar setia menunggu didepan ruangan karena tidak mau ditinggal, Adek yang selalu manja ini sudah tumbuh besar, Yah.
Adek masih sering nangisin Ayah, masih cengeng, Ayah baik-baik, ya? Adek disini punya Mas Abi, Abang Arkais, Kakak Ghifari yang ngejagain Adek dengan baik, ayah tenang aja.
Keempat jagoannya sudah tumbuh dengan sempurna walau tanpa sosok Ayah, setiap peran memiliki sakitnya masing-masing, tapi mereka bisa, bisa bertahan karena saling punya satu dengan lainnya.